Pembunuhan Kanda Jurkani: Keadilan yang Hilang di Tengah Tambang Ilegal Batubara
_Sepuluh hari sudah_, sejak Kanda Jurkani wafat pada Rabu, 3 November 2021. Sepuluh hari saya merenung dan mencoba bertanya (lagi), bagaimana memperjuangkan hukum dan keadilan di tanah kelahiran saya: Kalimantan Selatan. Sengaja saya mengambil jeda waktu, tidak langsung menulis setelah Kanda Jurkani menutup mata selamanya. Saya ingin memberi waktu untuk hati nurani berkontemplasi, tidak terbawa emosi, karena mudah sekali hanyut dalam air mata, apalagi melihat ketidakadilan di depan mata.
_Sepuluh hari sudah_. Waktu berduka sudah harus berganti dengan waktu berjuang (lagi). Tidak mudah melawan ketidakadilan yang meraksasa-menggurita. Namun, kebenaran harus disuarakan, dengan nyaring, dengan lantang. Pembungkaman yang dilakukan dengan kekerasan, kekuasaan, ataupun keuangan, adalah kedzaliman yang tidak boleh dibiarkan. Karena diam terhadap kedzaliman bukanlah emas. Diam terhadap kedzaliman adalah pembiaran penindasan.
Kanda Jurkani meninggalkan kami setelah dibacok dengan sadis pada 22 Oktober 2021. Tangan dan kakinya penuh luka parah akibat tebasan senjata tajam. Pergelangan tangan kanannya malah nyaris putus. Satu video almarhum di kasur klinik sederhana di pojok kota Tanah Bumbu, dengan banjir darah di sekujur tubuh, baju dan celananya, terus berputar di dalam ingatan. Terekam sebagai pengingat, bahwa kita berutang nyawa kepada Beliau. “Jangan bepagat (putus) Allah-Allahnya”. Nada pilu seorang kerabat, mengingatkan Kanda Jurkani untuk terus berdzikir, menggantungkan kekuatan hanya kepada pemilik semesta, Allah SWT.
Keadilan sudah lama hilang ketika rakyat berhadapan dengan kekuasaan yang bermain mata dengan keuangan. Terlalu panjang kisah pilu keadilan dikalahkan di pojok-pojok ruang sunyi-lobi transaksi. Dimana hukum menjadi komoditi. Ketika nyawa aktivis buruh Marsinah, nyawa jurnalis Fuad Muhammad Syafruddin, nyawa pejuang HAM Munir, dan mata pejuang antikorupsi Novel Baswedan tidak dipandang bernilai. Karena harga diri yang sudah tergadai. Karena hukum dan keadilan yang sudah terbeli.
Di banyak sudut republik, kisah keadilan yang hilang, adalah kelaziman sehari-hari, adalah kedzaliman yang menjadi cerita berseri. Terus bersambung tanpa henti. Sehingga hati kita tidak lagi gelisah, sehingga teriakan perlawanan hanya menjadi desah yang menjadi catatan kelam sejarah.
Sejarah kelam kekejaman hukum yang lumpuh itu makin nyata di daerah kaya sumber daya. Ketika kekayaan alam di rebut dari rakyat jelata—tidak dikuasai oleh negara—tetapi dirampas paksa oleh para mafia. Amanat Pasal 33 Konstitusi, bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” hanya menjadi macan kertas semata.
Di Kalimantan Selatan, setelah hutan rimba tiada, melahirkan banjir dimana-mana, batubara menjadi primodana. Apalagi dengan harga yang meroket di dunia, utamanya di Eropa dan Cina. Tambang liar merajalela. Ibarat zaman kolonial Belanda ketika bumbu rempah dikejar ke setiap ujung Nusantara, menjadikan penjajahan bertahan abad di tanah Indonesia. Bumbu rempah dan tanah Indonesia itu sekarang terang mewujud di Tanah Bumbu. Wilayah kaya-raya batubara, di antara banyak wilayah lain di Banua, yang pertambangan ilegal menghadirkan cerita luka dan duka, dan keadilan hilang entah kemana.
_Sepuluh hari sudah_. Sejak Kanda Jurkani menghembuskan nafas jihad perjuangannya. Tubuhnya yang bersimpah darah merah adalah tanda bahwa mafia tambang ilegal masih menjadi Raja Diraja, dan rakyat hanyalah budak sahaya. Dalam setiap lingkaran mafioso, selalu ada sang Godfather, yang duduk santai di kursi singgasana. Uangnya digunakan membangun ataupun bahkan membeli Istana, beserta permaisuri dan para dayang-dayangnya. Baginya semua bisa dibeli dengan harta. Baginya semua ada harganya, kecuali nyawa manusia.
Ketika nyaris semua termasuk harga diri bisa dibeli, maka keadilan akan menjadi barang langka yang sulit untuk dicari. Apatah lagi, penegak hukum di Tanah Bumbu berhadapan muka langsung dengan duet maut tantangan: tekanan kekuasaan dan godaan keuangan. Tidak banyak yang bisa lolos dari jeratan pisau tajam bermata dua itu. Hanya manusia setengah malaikat yang makin langka dan nyaris tiada di bumi Indonesia.
Dalam tragedi pembacokan Kanda Jurkani, godaan uang dan kuasa bisa jadi amat memabukkan dan menghadirkan kisah hikayat bahwa pelakunya adalah preman mabuk yang tiba-tiba sadar dan mengenali, “Ada Jurkani, itu Jurkani”, dan dipecahlah kaca mobil, dan mengayunlah sabetan pedang ke tubuh Sang Pejuang. Lalu para preman mabuk berfikir culas dan memerintahkan mobil untuk berputar melalui jalan melingkar, agar Sang Pejuang habis darah dan menyerah.
Tapi Kanda Jurkani bukan pecundang. Sejak awal berjumpa, kata-katanya adalah keberanian, sikapnya adalah ketegasan. Takut sudah pasti bukanlah pilihan. Karena itu pesan para sahabat agar tidak gegabah melawan sendirian, sering diabaikan. Hingga akhirnya berujung nyawa yang tak tergantikan.
Ketika saya bervideo call saat di rumah sakit, dengan semangat Kanda Jurkani bertutur, “Ulun (saya) tangkis, Prof. Kita lawan, kada (tidak) akan menyerah. Kita terus lawan Prof!” Setiap hari sesudahnya, saya bertelepon dan bertegur sapa memberikan pengingat dan semangat. Pada video call terakhir, pasca operasi, dengan selang masih tersambung di mulutnya, tatapan mata Kanda Jurkani masih tajam mengirimkan semangat juang, meski di ujung matanya sudah ada air mata tergenang. Pun di mata dan hati saya, hingga kini.
_Sepuluh hari sudah Kanda Jurkani pergi, tak akan kembali_. Tapi perjuangannya tidak boleh berhenti. Kita yang masih punya hati, berhutang nyawa untuk terus mencari keadilan hakiki, terus melawan mafia tambang di Tanah Bumbu, terus melawan ketidakadilan di Bumi Pertiwi.
(Bersambung)
_Melbourne, 13 November 2021_
Denny Indrayana