MUARA TEWEH-Sidang adat terkait persoalan penyerobotan lahan warga, pelecehan tanda adat dan lembaga adat dayak yang diduga dilakukan oleh pihak PT Multi Persada Gatramegah (MPG) belum juga diputuskan.
Dua kali sidang digelar di Rumah Betang Muara Teweh, para pihak bertahan dengan kebenaran dan bukti-buktinya masing-masing.
Sidang tanpa kehadiran General Manager PT MPG itu dipimpin oleh 3 hakim adat dan dihadiri oleh para pendawa serta juga terlapor dari Managemen PT MPG, dalam hal ini Ibrahim selaku manager humas.
Dalam pembelaannya, Ibrahim mengatakan operasional PT MPG di atas lahan seluas 9 ribu lebih hektare sudah sesuai dengan legalitas yang berlaku. Baik itu izin dari Kementerian Pertanian, surat dari BPN hingga sejumlah legalitas lainnya berdasarkan hukum yang belaku secara nasional.
“Artinya PT MPG tidak melakukan penyerobotan atau beroperasi di atas tanah yang diklaim Pentan, Yeyen dan Ivan Saputra,” ujar Ibrahim.
Selain itu, berkaitan dengan perusakan dan atau pelecehan tanda adat di lokasi tanah yang disoal, Ibrahim tegas membantah bahwa pihak perusahaan sama sekali tidak melakukannya.
“Itu tidak benar. Kami tidak tahu. Itu di jalan poros perkebunan,” bantah Ibrahim lagi.
Kembali ke persoalan tanah yang diklaim warga, Staf Humas PT MPG, Denok, saat dihadirkan sebagai saksi mengatakan PT MPG menganggap ganti rugi atau tali asih di atas lahan HGU sudah dianggap clear and clean. Hal ini karena PT MPG melakukan takeover dari perusahaan yang lama.
“PT MPG sendiri tahun 2012. Selama takeover selalu sosialisasi terkait ganti rugi lahan. Karena ini sudah dikerjakan tahun 2010, masalah ganti rugi atau tali asih sudah clear dan clean,” tutur Denok.
Akan tetapi, saat ditanyakan terkait dokumen dan bukti ganti rugi atau tali asih, pihak MPG tak bisa menunjukkannya. Mereka beralasan HGU tersebut merupakan takeover dan sudah digarap sebelumnya oleh perusahaan yang lama.
Menanggapi pernyataan bahwa ganti dan atau tali asih sudah clear and clean, salah satu warga yang mengakui tanahnya digarap PT MPG membantah. Bahkan oleh perusahaan sebelumnya pun disebut belum dilakukan ganti rugi.
“Tidak ada,” tegas Pentan singkat.
Sementara itu, pihak Pandawa yang diwakili oleh Jubendri mengatakan pihaknya sudah secara maksimal menghadirkan saksi-saksi dan bukti-bukti asli, namun dari pihak terlapor hanya foto copy. Hal ini tentu tidak berimbang dalam pembuktian.
“Tolong bawa bukti-bukti asli. Baik HGU bapak, dokumen ganti rugi bapak dan lain sebaginya. Di sini kami dari pandawa hadirkan yang asli. Biar pembuktian itu berimbang,” tegas Jubendri.
Jubendri juga meminta agar Majelis Hakim kembali mengagendakan persidangan dengan menghadirkan saksi-saksi yang turut terlibat dalam persoalan ini.
Melihat masing-masing pihak kukuh mempertahankan kebenarannya, majelis hakim adat dalam sidang tersebut sempat mengatakan jika hal ini terjadi maka akan dilakukan sumpah adat.
“Kalau ini alotnya begini, maka terpaksa kami menjalankan tugas kami sesuai dengan peraturan yakni sumpah adat,” ujar salah satu hakim.
Terkait dengan sidang adat yang belum ada putusannya, ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Barito Utara, Junio Suharto mengatakan ada kemungkinan bisa disumpah adat.
“Lihat sendiri kan hari ini para pihak mempertahankan kebenaran dan buktinya masing-masing. Arahnya bisa ke sana (red. Sumpah Adat),” ujar Junio Suharto, Kamis (17/2).
Junio mengatakan dalam sidang adat ketiga pada pekan depan para pihak akan menghadirkan saksi-saksi yang hari ini diminta. Salah satunya Kepala Desa Karamuan.
“Minggu depan masih pemeriksaan saksi. Salah satunya kades Karamuan,” tuturnya.
Pantauan awak media terkait jalannya sidang adat di Rumah Betang Muara Teweh berlangsung cukup alot. Hampir 7 jam sidang digelar, para pihak tampak tetap bersemangat menampilkan bukti-bukti secara maksimal.