Oleh: Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Tata Negara Senior Partner INTEGRITY Law Firm
Dari Melbourne (Australia), saya dengan cemas dan gusar mengikuti perkembangan politik-hukum konstitusi di tanah air. Dalam hari-hari ini, partai-partai koalisi pemerintah (PKB, Golkar, PAN, Nasdem, PPP), menyatakan dukungannya bagi penundaan pemilu 2024. Baru PDI Perjuangan yang secara terbuka menyatakan penolakannya, yang belum tahu juga apakah tetap bisa bertahan dan tidak tergoyahkan. Ingat, penundaan pemilu berarti pula perpanjangan jabatan presiden dan parlemen—serta pula kepala daerah.
Ini adalah perkembangan yang memalukan, sekaligus membahayakan, karena itu harus pula ditanggapi dengan serius dan cepat. Wacana penundaan pemilu, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan atas konstitusi (contempt of the constitution). Dalam teori ketatanegaraan pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara. Sejarah Indonesia mencatat, pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai salah satu pelanggaran konstitusi, yang akhirnya diakui menjadi sumber hukum bernegara yang sah dan berlaku.
Namun alasan pelanggaran konstitusi harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat Indonesia (for the sake of the nation and the people). Ukurannya adalah dampak dari tindakan pelanggaran konsitusi harus semata-mata demi menyelamatkan negara bangsa. Indikator penting lainnya adalah pembatasan kekuasaan (limitation of power) dan penhormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar-pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.
Maka, dengan parameter demikian, menunda pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah, nyata-nyata adalah potret pelanggaran konstitusi yang berjamaah, karena lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan semata (machtsstaat) dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum (rechtsstaat).
Kalaupun prosedur perubahan konstitusi dilakukan, maka perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang pondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi konstitusi itu sendiri (constitutionally invalid). Samas sekali tidak boleh konstitusi diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi, apalagi disalahgunakan untuk memperbesar kekuasaan, yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri. Tidak boleh konstitusi disalahgunakan untuk memberikan legitimasi, atas penumpukan kekuasaan yang sejatinya melanggar maksud dan tujuan hadirnya hukum dasar konstitusi itu sendiri.
Kalau rencana pelecehan massal konstitusi ini terus dilanjutkan, maka kita sebagai anak bangsa harus berteriak lantang untuk menolaknya. Kita harus menyadarkan elit negeri bahwa konstitusi harus dihormati, bukan dilecehkan. Seharusnya Presiden Jokowi, sebagai Kepala Negara harus segera meluruskan pelanggaran serius ini. Itu kalau Beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Al Qur’an untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya, dan jika Beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang jusru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut.
Elemen masyarakat madani tidak boleh membiarkan kesalahan mendasar ini dan harus melakukan konsolidasi dan penolakan keras. Jangan sampai kita terlambat, hingga yang melakukan pelurusan sejarah adalah hukum alam-sunatullah.