JAKARTA – Permohonan pra peradilan atas penetapan tersangka Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Mardani H. Maming oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mulai disidangkan. Mardani, ditetapkan tersangka terkait dengan pemberian Izin Usaha Pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu, ketika mendapat amanah sebagai Bupati periode 2010-2015 dan periode 2016-2018.
Mardani yang juga Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), oleh karena itu PBNU sendiri yang merekomendasikan beberapa orang kuasa hukum, diantaranya, Pimpinan KPK Periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, dan Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, serta beberapa kuasa hukum lainnya yang memilih domisili hukum di Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum PBNU (LPBHNU).
Ketua Tim Kuasa Hukum, Bambang Widjojanto menegaskan, permohonan pra peradilan ini diajukan tidak sekedar melawan indikasi kuat terjadinya abuse of power dan pelanggaran atas due process of law dalam proses penetapan sprindik tersangka saja, tetapi juga mendelegitimasi transaksi bisnis dan investasi dengan tudingan korupsi.
“Permohonan Pra Peradilan ini dilakukan untuk membantu mewujudkan pernyataan dan klaim yang kerap dikemukakan KPK sendiri, yaitu: penegakan hukum & pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak boleh melanggar hukum. Itu sebabnya sangat disayangkan ketika KPK tidak bisa hadir dengan alasan sedang menyiapkan dokumen,” ujar mantan Direktur LBH Papua ini.
BW, sapaan akrab Bambang menjelaskan, KPK secara institusi harus diselamatkan agar integritasnya tetap terjaga dalam menjalankan kekuasaannya dari tindakan yang sewenang-wenang, sehingga penyidikan dilakukan tanpa kewenangan dan tanpa harus didukung oleh dua alat bukti yang sah dan kuat. Penyidikan ini juga dilakukan dalam rentang waktu yang sangat cepat dengan melompati tahapan-tahapan pro justitia, sehingga melanggar hukum acara pidana dan SOP Penyidikan KPK sendiri.
Pendeknya, mens rea pidananya sangat bias karena justru terlihat sangat ada motif persaingan bisnis tidak sehat, yang diinstrumentasi dan dikapitalisasi menjadi perkara korupsi menggunakan pranata hukum. “Ketika pemenuhan hak dan kewajiban bisnis antar korporasi dengan underlying transaction yang jelas, perjanjian yang sah, dan bahkan telah mendapat putusan Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari Pengadilan Niaga kemudian dipaksakan menjadi perbuatan pidana, maka hal demikian, jelas-jelas perbuatan melawan hukum,” hal di atas juga dikonfirmasi dan disetujui oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. H. Denny Indrayana, S.H.,LL.M.,Ph.D.
Dalam rangka pertumbuhan ekonomi kita yang sejalan dengan program pemulihan ekonomi Presiden Joko Widodo pasca pandemi ditambah dengan imbas invasi Rusia ke Ukraina, maka kriminalisasi persoalan bisnis dan keperdataan, jelas-jelas tidak sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah untuk pemulihan ekonomi.
“Jika terjadi ketidakpastian hukum dan investasi di tengah turbulensi situasi ekonomi, maka investor cenderung akan wait and see karena persoalan ini sudah menjadi nasional dan bahkan internasional,” tutup Dendy Zuhairil Finsa, kuasa hukum dari LPBH NU. (TIM)